Masa Tiga Kerajaan
Besar
Kerajaan Safawi
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban
Islam
Dosen Pembimbing : Zainul Arifin, M. S. I
Disusun oleh :
Zumrotun Hasanah (117032)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Asal Usul Kerajaan Safawi …………………………………… 2
B. Sistem Pemerintahan Kerajaan
Safawi ………………………. 3
C. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi ……………… 6
D. Kemajuan pada Masa Kerajaan Safawi ……………………… 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………… 12
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 13
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Warohmatullahi Wabarokatuh.
Segala puja dan puji kami panjatkan kehadirat
Allah SWT. Sholawat serta salam kami curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW yang kita nantikan syafaatnya dihari kiamat nanti. Berkat rahmat dan karunia-Nya telah tersusun
Makalah yang berjudul “Masa Tiga
Kerajaan Besar : Kerajaan Safawi” ini bisa terselesaikan walaupun penulis
mengetahui tak ada yang sempurna didunia ini.
Mudah-mudahan Makalah ini bisa membantu para
mahasiswa, setidak-tidaknya menambah wawasan dan sebagai wacana guna memperluas
pengetahuan yang terkandung didalamnya. Oleh karenanya dalam makalah ini sudah
barang tentu banyak kekurangan yang harus dilengkapi, yang semuanya itu
membutuhkan adanya saran dan kritik dari para ahlinya, agar nantinya makalah
ini akan lebih sempurna. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin Ya Robbal Alamin.
Pati,
Maret 2018
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jatuhnya Bagdad akibat serangan pasukan
mongol pada tahun 1258 M bukan saja mengakhiri Khilafah Abbasiyah melainkan
sekaligus mengawali masa kemunduran politik Islam secara drastis. Politik umat
Islam terpecah-pecah menjadi sejumlah kerajaan kecil, seperti dinasti Ikhan,
dinasti Timuriyah dan dinasti Mamalik. Kondisi politik Islam berkembang kembali
setelah terbentuknya tiga kerajaan besar
yaitu Kerajaan Safawi di Persia, Mughal di India, dan Usmani di Turki. Usmani
merupakan kerajaan yang paling awal berdiri dan sekaligus sebagai kerajaan yang
terkuat di antara ketiganya. Urutan kerajaan yang terlemah atau yang tercepat
mengalami keruntuhan adalah Kerajaan Safawi, Kerajaan Mughal dan Kerajaan
Usmani. Mengenai hal itu kami membuat makalah dengan judul “Masa Tiga Kerajaan Besar : Kerajaan Safawi” untuk mengetahui lebih dalam seperti apakah
Kerajaan Safawi itu.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal usul Kerajaan Safawi?
2.
Bagaimana sistem pemerintahan Kerajaan
Safawi?
3.
Bagaimana kemunduran dan kehancuran
Kerajaan Safawi?
4.
Bagaimana kemajuan pada masa Kerajaan
Safawi?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui asal usul Kerajaan
Safawi.
2.
Untuk mengetahui sistem pemerintahan
Kerajaan Safawi.
3.
Untuk mengetahui kemunduran dan
kehancuran Kerajaan Safawi.
4.
Untuk mengetahui kemajuan pada masa
Kerajaan Safawi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah
gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini
diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi
Ad-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat
ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan
ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.
Shafi Ad-Din berasal dari keturunan
orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Shafi Ad-Din
merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya
bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan
julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan
tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Shafi Ad-Din
mendidrikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Dalam waktu yang tidak lama tarekat ini
berkembang pesat di Persia, Syiria, dan Asia Kecil. Gerakan tarekat ini
bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan golongan “ahli-ahli bid’ah”.
Fanatisme pengikut tarekat Safawiyah
yang menentang golongan selain Syi’ah mendorong gerakan ini memasuki gerakan
politik. Kecenderungan terhadap politik terwujud pada masa kepemimpinan Imam
Junaid (1447-1460 M) dimana sang imam menambahkan gerakan politik selain gerakan
keagamaan. Hal ini menimbulkan konflik antara tarekat Safawiyah dengan penguasa
Kara Koyunlu, salahsatu cabang bangsa Turki yang berkuasa di wilayah ini. Sang
imam berhasil diusir oleh pihak penguasa dan diasingkan. Selanjutnya sang imam
bersekutu dengan Uzun Hasan, seorang pimpinan Ak-Koyunlu. Persekutuan Imam
Junaid dengan Uzun Hasan semakin kuat dengan pernikahannya dengan saudara
perempuan Uzun Hasan. Imam Junaid tidak berhasil meraih supremasi politik di
wilayah ini, lantaran upayanya merebut kota Ardabil dan Sircassia mengalami
kegagalan.
Sepeninggal Imam Junaid, pimpinan
tarekat Safawiyah digantikan oleh anaknya yang bernama Haidar. Haidar mengawini
putri Uzun Hasan dan melahirkan anak yang bernama Isma’il. Sang anak inilah
yang kelak berhasil mendirikan kerajaan Safawiyah di Persia.
Atas persekutuan dengan Ak-Koyunlu,
Haidar berhasil mengalahkan kekuatan Ak Koyunlu dalam pertempuran yang terjadi
pada tahun 1476 M. Kemenangan ini membuat nama Safawiyah semakin besar, dan hal
ini tidak dikehendaki oleh Ak-Koyunlu. Persekutuan antara Safawiyah dengan
Ak-Koyunlu berakhir oleh sikap Ak-Koyunlu memberikan bantuan kepada Sirwan
ketika terjadi pertempuran antara pasukan Haidar dengan pasukan Sirwan. Pasukan
Safawiyah mengalami kehancuran dan Haidar sendiri turut terbunuh dalam
pertempuran ini.
Kekuatan Safawiyah bangkit kembali dalam
kepemimpinan Isma’il. Ia selama lima tahun mempersiapkan kekuatan dengan
membentuk pasukan Qizilbash (pasukan baret merah) yang bermarkas di Gilan. Pada
tahun 1501 pasukan Qizilbash berhasil mengalahkan Ak-Koyunlu di Sharus dalam
peperangan di dekat Nakhchivan dan berhasil menakhlukkan Tibriz, pusat
kekuasaan Ak-Koyunlu. Di kota ini Isma’il memproklamirkan berdirinya kerajaan
Safawiyah dan menobatkan diri sebagai raja pertamanya.
B.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Safawi
Dinasti
Safawi merupakan Dinasti Agama karena lebih dilandasi oleh praktek syiah,
dimana pemimpinnya adalah raja-raja (shah-shah) yang diberi gelar khalifah, di
antara raja-raja atau shah-shahnya yang pernah memimpin adalah Safi al-Din
(1252-1334 M), Sadar al-Din Musa (1334-1399 M), Khawaja Ali (1399-1427 M),
Ibrahim (1427-1447 M), Juneid (1447-1460 M), Haidar (1460-1494 M), Ali
(1494-1501 M), Ismail I (1501-1524 M), Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II
(1576-1577 M), Muhammad Khudabanda (1577-1587 M), Abbas I (1588-1628 M), Safi
Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667), Sulaiman (1667-1694 M), Husain
(1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732), Abbas II (1722-1732 M), Abbas III
(1732-1736 M).
Raja yang dianggap paling berjasa dalam memulihkan kebesaran kerajaan Safawi sekaligus membawanya ke puncak kemajuan adalah Shah Abbas I (1588-1629). Langkah awal yang dipilihnya adalah rekontruksi tentara dengan menghilangkan dominasi pasukan Qizil-bash sebagai gantinaya ia membentuk unit pasukan berasal dari kalangan Ghulam (budak-budak) dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Thamasp I di bawah pimpinan Allahberdi Khan, seorang budak Georgia yang telah masuk Islam. Kemudian mereka diangkat dalam jabatan pemerintah, baik jabatan yang pernah diduduki oleh Qizil-bash maupun jabatan penguasa di daerah-daerah.
Di samping itu, unit-unit artileri juga diorganisasi untuk memberikan kekuatan perang modern kepada tentara syah dan membuat mereka sama dengan Janissari-Janissari Usmaniyah kombinasi para budak Kaukasia dan infanter-artileri Persia ini seperti diakui lapius telah mampu memberi kekuatan militer “profesional” kepada Syah Abbas untuk kemudian mengkonsolidasi batas-batas wilayah dan membangun kekuatan internalnya. Dia (Abbas) tidak ingin terjerebab seperti pendahulunya (Ismail I).
Untuk itulah dia “kembali” kepada metode-metode timur tengah Islam abad-abad silam tentang bagaimana mengorganisasi militer Islam. Apabila kita cermati langkah Syah Abbas ini., dapat dikatakan sebagai upaya antisipatif dengan “menghilangkan” idiologi nasionalisme yang salah. Karenanya, meskipun Syah Abbas tetap mempertahankan idiologi negara, tetapi nampak lebih terbuka dan torelan seperti yang dibuktikan dengan kebijakan politik luar negeri yaitu, ia bersedia mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani yang disepakatinya pada tahun 1589 M. bahkan untuk kepentingan stabilitas kedaulatannya, perjanjian itu “dilengkapi” dengan melepaskan provinsi Azerbaijan, Gorgia, dan sebagian wilayah Luristan, serta berjanji tidak akan menghina tiga kholifah pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan, ia menyarahkan saudara sepupunya Haidar Mirza, sebagai sandera di Istanbul.
Langkah ini, sepintas memang merugikan dan mengurangi kedaulatan suatu negara yang baru bangkit, akan tetapi konsesi seperti ini sebenarnya merupakan langkah yang bijaksana demi keutuhan ketahanan nasional dari pada harus berseteru dengaa kekuasaan lain yang memang jauh lebih kuat. Barang kali dalam pertimbangan Syah Abbas, lebih baik mengalah untuk sementara waktu demi kemenangan jangka panjang.
Selanjutnya setelah Safawi memiliki kekuatan militer yang cukup kuat dan dengan bantuan nasehat militer Inggris. Sir Anthiny dan Sir Robetr Sherly. Safawi mulai membuat perhitungan ke luar. Sasaran utamanya adalah daerah-daerah yang pernah hilang dari kekuasaannya. Sebagai persiapan untuk mengamankan dan selanjutnya melangkah dalam perluasan kekuasaan terhadap daerah-daerah bagian timur, Syah Abbas memindahkan ibu kota kerajaan dari Qiswan ke Isfahat pada tahun 1597. Setahun kemudian ia melakukan serangan ke Herat, kemudian ke Marw dan Balk. Setelah diperoleh kemenangan di wilayah timur, barulah Syah Abbas mengalihkan serangannya ke wilayh barat, berhadapan dengan Turki Usmani. Perseteruan antara kedua kerajaan ini, penyababnya (antara lain) adalah perbedaan idiologi yang dianutnya, yakni kerajaan Syafawi (Syi’ah) sedangkan Turki Usmani (Sunni).
Serangan ke Turki Usmani dilakukan Abbas akhir pemerintahan Sultan Muhammad III. Ketika itu Turki sedang berperang dengam Austria dan sedang mengahadapi pemberontakan Jalali di Asia Kecil. Dengan pasukan yang baru. Abbas dapat merebut Tibris Sirwan dan Baghdad. Tahun 1605-1606 menguasi kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis. Barikutnya pada bulan Maret 1622, dengan dukungan beberapa kapal Inggris, Safawi dapat menguasai kepulauan Hormuz dari tangan Portugis dan pelabuhan Gumron diubah namanya menjadi Bandar Abbas.
Masa Shah Abbas inilah dipandang sebagai puncak kerajaan Safawi. Kerajaan ini mencapai tingkat kemajuan yang disegani oleh dunia internasional. Kemajuan politiknya ditandai dengan luasnya wilayah kerajaan yang mencakup Khurasan di sebelah timur, sekitar laut Kaspia sebelah utara, Asia Kecil, Persia Barat Daya di sebelah barat dan kepulauan Hurmuz di sebelah selatan. Meskipun demikian, karena didukung dengan birokrasi profesional, maka Syah Abbas (Abbas I 1587-1629) mampu mengontrol wilayahnya dengan baik
Raja yang dianggap paling berjasa dalam memulihkan kebesaran kerajaan Safawi sekaligus membawanya ke puncak kemajuan adalah Shah Abbas I (1588-1629). Langkah awal yang dipilihnya adalah rekontruksi tentara dengan menghilangkan dominasi pasukan Qizil-bash sebagai gantinaya ia membentuk unit pasukan berasal dari kalangan Ghulam (budak-budak) dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Thamasp I di bawah pimpinan Allahberdi Khan, seorang budak Georgia yang telah masuk Islam. Kemudian mereka diangkat dalam jabatan pemerintah, baik jabatan yang pernah diduduki oleh Qizil-bash maupun jabatan penguasa di daerah-daerah.
Di samping itu, unit-unit artileri juga diorganisasi untuk memberikan kekuatan perang modern kepada tentara syah dan membuat mereka sama dengan Janissari-Janissari Usmaniyah kombinasi para budak Kaukasia dan infanter-artileri Persia ini seperti diakui lapius telah mampu memberi kekuatan militer “profesional” kepada Syah Abbas untuk kemudian mengkonsolidasi batas-batas wilayah dan membangun kekuatan internalnya. Dia (Abbas) tidak ingin terjerebab seperti pendahulunya (Ismail I).
Untuk itulah dia “kembali” kepada metode-metode timur tengah Islam abad-abad silam tentang bagaimana mengorganisasi militer Islam. Apabila kita cermati langkah Syah Abbas ini., dapat dikatakan sebagai upaya antisipatif dengan “menghilangkan” idiologi nasionalisme yang salah. Karenanya, meskipun Syah Abbas tetap mempertahankan idiologi negara, tetapi nampak lebih terbuka dan torelan seperti yang dibuktikan dengan kebijakan politik luar negeri yaitu, ia bersedia mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani yang disepakatinya pada tahun 1589 M. bahkan untuk kepentingan stabilitas kedaulatannya, perjanjian itu “dilengkapi” dengan melepaskan provinsi Azerbaijan, Gorgia, dan sebagian wilayah Luristan, serta berjanji tidak akan menghina tiga kholifah pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan, ia menyarahkan saudara sepupunya Haidar Mirza, sebagai sandera di Istanbul.
Langkah ini, sepintas memang merugikan dan mengurangi kedaulatan suatu negara yang baru bangkit, akan tetapi konsesi seperti ini sebenarnya merupakan langkah yang bijaksana demi keutuhan ketahanan nasional dari pada harus berseteru dengaa kekuasaan lain yang memang jauh lebih kuat. Barang kali dalam pertimbangan Syah Abbas, lebih baik mengalah untuk sementara waktu demi kemenangan jangka panjang.
Selanjutnya setelah Safawi memiliki kekuatan militer yang cukup kuat dan dengan bantuan nasehat militer Inggris. Sir Anthiny dan Sir Robetr Sherly. Safawi mulai membuat perhitungan ke luar. Sasaran utamanya adalah daerah-daerah yang pernah hilang dari kekuasaannya. Sebagai persiapan untuk mengamankan dan selanjutnya melangkah dalam perluasan kekuasaan terhadap daerah-daerah bagian timur, Syah Abbas memindahkan ibu kota kerajaan dari Qiswan ke Isfahat pada tahun 1597. Setahun kemudian ia melakukan serangan ke Herat, kemudian ke Marw dan Balk. Setelah diperoleh kemenangan di wilayah timur, barulah Syah Abbas mengalihkan serangannya ke wilayh barat, berhadapan dengan Turki Usmani. Perseteruan antara kedua kerajaan ini, penyababnya (antara lain) adalah perbedaan idiologi yang dianutnya, yakni kerajaan Syafawi (Syi’ah) sedangkan Turki Usmani (Sunni).
Serangan ke Turki Usmani dilakukan Abbas akhir pemerintahan Sultan Muhammad III. Ketika itu Turki sedang berperang dengam Austria dan sedang mengahadapi pemberontakan Jalali di Asia Kecil. Dengan pasukan yang baru. Abbas dapat merebut Tibris Sirwan dan Baghdad. Tahun 1605-1606 menguasi kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis. Barikutnya pada bulan Maret 1622, dengan dukungan beberapa kapal Inggris, Safawi dapat menguasai kepulauan Hormuz dari tangan Portugis dan pelabuhan Gumron diubah namanya menjadi Bandar Abbas.
Masa Shah Abbas inilah dipandang sebagai puncak kerajaan Safawi. Kerajaan ini mencapai tingkat kemajuan yang disegani oleh dunia internasional. Kemajuan politiknya ditandai dengan luasnya wilayah kerajaan yang mencakup Khurasan di sebelah timur, sekitar laut Kaspia sebelah utara, Asia Kecil, Persia Barat Daya di sebelah barat dan kepulauan Hurmuz di sebelah selatan. Meskipun demikian, karena didukung dengan birokrasi profesional, maka Syah Abbas (Abbas I 1587-1629) mampu mengontrol wilayahnya dengan baik
C.
Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan
Safawi
Sepeninggal Abbas I pada tahun 1628 M
berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642M), Abbas
II (1642-1667M), Sulaiman (1667-1694M), Husain (1694-1722M), Tahmasp II
(1722-1732M), dan Abbas III (1733-1736M). Kerajaan Safawiyah dilanda kemunduran
yang secara berangsur-angsur membawa kepada kehancurannya. Sejumlah raja-raja
yang berkuasa sesudah Abbas I merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak
mampu mempertahankan masa kejayaan kerajaan. Safi Mirza, cucu dan sekaligus
pengganti Abbas I, berperangai buruk dan tega berbuat kejam terhadap pembesar
kerajaan, sekalipun karena alasan yang remeh. Sejak masa ini, beberapa wilayah
Safawiyah terlepas oleh penguasa lain. Misalnya wilayah Kandahar dirampas oleh
kerajaan Mughal Delhi. Kemudian Ervan, Tibriz, dan Bagdad direbut oleh pasukan
Usmani antara tahun 1635-1636.
Abbas II sekalipun memiliki semangat
perjuangan untuk kerajaan Safawiyah dengan merebut kembali wilayah Kandahar
dari kekuasaan Syah Jihan, namun upaya seperti ini tidak diteruskan oleh para penggantinya.
Sulaiman dan Husein merupakan penguasa yang lemah, keduanya tidak berhasil
mengatasi gerakan pemberontakan yang dilancarkanoleh masyarakat Afghanistan,
sehingga gerakan ini mengakhiri pemerintahan Safawiyah di wilayah ini. Benih
pemberontakan ini telah ada semasa Sulaiman, dan berubah semakin kritis akibat
pemaksaan paham Syi’ah terhadap masyarakat Sunni yang dilakukan oleh Husein.
Maka masyarakat Sunni Afghanistan bangkit melancarkan pemberontakan dibawah
pimpinan Mir.Vayz dan Mir Mahmud. Husein dipaksa menyerah oleh gerakan
pemberontakan ini.
Tahmasp II, putra Husein, berhasil
melarikan diri ke Astrabad. Atas bantuan dan dukungan suku Qazar dari Rusia ia
berhasil membangun kembali kerajaan Safawiyah pada tahun 1722 dengan ibukota di
Astrabad. Pada tahun 1726 Tahmasp II bergabung dengan Nadzir Khan dari suku
Afshar untuk mengusir kekuasaan Afghanistan yang menduduki wilayah Isfahan.
Demikianlah bahwa Nadzir Khan cukup berjasa terhadap Tahmasp II dalam membangun
kembali kerajaan Safawiyah. Namun ternyata, Nadzir Khan memiliki kepentingan
politik dibalik dukungannya terhadap Tahmasp II. Hal ini terbukti dengan
peristiwa pemecatan Tahmasp II oleh Nadzir Khan. Kemudian Nadzir Khan menunjuk
Abbas III yang belum genap berusia satu tahun. Empat tahun kemudian, Nadzir
Khan memproklamirkan diri sebagai raja menggantikan Abbas III. Peristiwa yang
menandai berakhirnya kerajaan Safawiyah ini terjadi pada 8 Maret 1736 M.
Terdapat sejumlah sebab yang turut
menyokong kemunduran kerajaan ini, selain faktor ketidakcakapan sejumlah raja
setelah Abbas I hingga pada akhirnya membawa kepada kehancurannya. Sebab
tersebut antara lain adalah konflik militer yang berkepanjangan dengan kerajaan
Usmani. Berdirinya kerajaan Safawiyah yang beraliran Syi’ah dipandang oleh kerajaan
Usmani sebagai kekuatan yang mengancam kekuasaannya.
Bahwa pasukan budak yang dibentuk oleh
Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi sebagaimana
semangat Qizilbash. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental
karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Pada
masa belakangan pasukan Qizilbash tidak memiliki militansi, dan semangat mereka
telah luntur, tidak sebagaimana Qizilbash generasi awal. Kemerosotan aspek
kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan
pertahanan kerajaan Safawi.
D.
Kemajuan pada Masa Kerajaan Safawi
1)
Bidang Politik dan Pemerintahan
Pengertian kemajuan dibidang politik disini adalah
terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu
angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat,
serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu Negara
ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan
langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata dinasti Safawi
yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbasy yang pernah menjadi tulang
punggung Dinasti Safawi pada awalnya dipandang Syah Abbas tidak diharapkan
lagi, sehingga ia membangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti
satuan militer ini ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang
Kristern di Georia dan di Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer
yang militan dan persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat
Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.
Berkat kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di
dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut
wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
Diantara unsur yang menjadikan kuatnya politik safawi
adalah kuatnya pribadi penguasa Safawi, terutama Syah Abbas I yang digambarkan
berpandangan tajam, bekal kuat, berkemauan besar, berani dan mempunyai semangat
yang tinggi serta tak kenal lelah. Selain itu, unsur yang juga mempunyai
pengaruh besar dalam kekuatan politik Safawi adalah kesetiaan pasukan Qizilbasy kepada raja Safawi.
Kemampuan Syah (raja) dalam mengatur administrasi negara juga merupakan unsur
kemajuan politik kerajaan Safawi yang tidak bisa diremehkan. Bentuk
administrasi yang dijalankan dalam kerajaan Safawi adalah, Jenjang tertinggi
setelah Syah adalah Azamat
al-Daulah yang fungsinya seperti Perdana Menteri, jenjang dibawahnya
adalah al-Sadr yang
fungsinya seperti menteri Agama, tugasnya antara lain mengurusi masalah
peradilan, tempat-tempat ibadah dan kegiatan ulama serta pelajar. Jabatan
berikutnya adalah al-Nazir yang
mirip dengan menteri Bulog. Lalu Rais
al-Khidam sebagai sekretaris menteri-menteri. Jabatan yang lain
adalah Nazr al-Maliah yang
bertugas mengurus Baitul Mall serta perpajakan. Pengawasan Syah pada
merekabsangat ketat dan tindakan yang diberikannya kepada pelanggar tugas
sangat keras.
2)
Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam
sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban
tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus
berlanjut.
Beberapa
tokoh ilmuwan yang terkenal antara lain : Bahauddin Syaerazi seorang generalis
ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir bin Muhammad Damad seorang filsuf ahli
sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan
lebah. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, Safawiyah labih maju dari
kerajaan lainnya pada masa yang sama.
3)
Bidang Ekonomi
Keberadaan
stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu
perkembangan perekonomian. Terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan
pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini
maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa
diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik
kerajaan Safawi.
Di
samping bidang perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan dalam
sektor pertanian terutama di daerah Sabit Subur (Fortile Crescent).
4)
Bidang Arsitektur
Penguasa
kerajaan Safawi telah berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan menjadi
kota yang sangat indah. Di kota Isfahan ini berdiri bangunan-bangunan besar
dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit,
sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun.
Disebutkan dalam kota Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan,
dan 273 pemandian umum. Dalam bidang kesenian, kemajuan tampak begitu kentara
dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada Masjid Shah
yang dibangun tahun 1611 M, dan Masjid Syaikh Lutfillah yang dibangun tahun
1603 M.
5)
Bidang Kesenian
Kerajaan
Safawi mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang seni, antara lain
dalam bidang kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan,
mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman
Tahmasp I. Raja Isma’il I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis Timur
bernama Bizhad ke Tabriz.
6)
Bidang Tarekat
Sebagaimana
diketahui bahwa cikal bakal Kerajaan Safawi adalah gerakan sufistik, yaitu
gerakan tarekat. Oleh karena itu, kemajuan di bidang tarekat pun cukup maju.
Bahkan gerakan tarekat pada masa ini tidak hanya berpikir dalam bidang
keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik dan pemerintahan.
BAB
III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Kerajaan Safawi beradal dari sebuah tarekat
yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawiyah. Kerajaan Safawi
berada dipuncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang
dicapai kerajaan Safawi antara lain dalam bidang politik, ilmu pengetahuan,
ekonomi, arsitektur, kesenian dan tarekat. Akan tetapi setelah Abbas meninggal,
kerajaan Safawi mengalami kemunduran, disebabkan raja yang memerintah sangat
lemah, sering terjadinya konflik intern dalam perebutan kekuasaan dikalangan
keluarga istana. Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas, Kerajaan
Safawi hancur.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, K. 1997. Sejarah Islam Dari Awal Hingga
Runtuhnya Dinasti Usmani (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas’adi. Cet.
Ke-2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Amin, Samsul Munir. 2013. Sejarah Peradaban
Islam. Cet. Ke-3. Jakarta: Amzah.